Persamaan gender atau disebut
juga dengan Gender Equality beberapa tahun belakangan ini sering sekali menjadi
topik hangat dikalangan kita. Bahkan permasalahan ini sempat menimbulkan
konflik hingga terjadi demonstrasi dimana-mana. Salah satu alasan utama hal
tersebut adalah adanya asumsi yang mengatakan bahwa wanita juga berhak untuk
mengapresiasikan dirinya; wanita tidak mesti di rumah dengan segudang urusan
rumah tangga. Dikatakan bahwa gender equality berarti perjuangan kaum
wanita/perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Hingga istilah wanita karir pun
telah menjadi trend dan hal yang mesti dicapai. Lalu sobat, benarkah
perempuan selama ini tertindas? Apakah ada campur tangannya antara Islam dan penindasan
terhadap wanita? Untuk menjawab itu, kita akan mengupas hal-hal yang berkaitan
tentang pandangan masyarakat terhadap wanita. Benarkah gender equality adalah
perjuangan atau persamaan; dimana laki-laki tak terima kalau wanitanya hanya
berdiam diri di rumahnya.
Sobat, seperti yang kita ketahui
bersama bahwa dahulu masyarakat Arab Jahiliyyah memiliki pandangan buruk
tentang sosok perempuan. Bagi mereka perempuan tidak memiliki hak apa pun.
Mereka tidak mendapatkan hak waris, bahkan boleh diwariskan. Poligami tanpa
batas bukanlah hal aneh. Beristri lebih dari empat dipandang biasa saja.
Kelahiran anak perempuan dipandang sebagai aib yang sangat memalukan. Oleh
karena itu, membunuh anak perempuan menjadi pilihan. Tak kurang sobat, sahabat
sekaliber Umar bin al-Khattab sekalipun, khalifah kedua dari Kahlifah
ar-Rasyidin, pada masa Jahiliyyah pernah membunuh anak perempuannya. Potret
buram masyarakat Jahiliyyah ini direkam dalam ayat Al-Qur’an: “Apabila
bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, “Karena dosa
apa ia dibunuh?” (QS. Asy Syams: 8-9)
Namun tahukah sobat, ternyata
pandangan seperti itu bukan berasal dari masyarakat Arab saja. Jauh sebelumnya,
Aristoteles misalnya menegaskan bahwa perempuan adalah manusia yang belum
selesai yang tertahan tingkat perkembangan tingkat bawah. Lain lagi dengan
Confucius. Dia mengatakan bahwa ada dua jenis manusia yang sukar diatur;
keturunan orang-orang hina dan perempuan. Hati perempuan tak ubahnya sarang
srigala, demikian yang dikatakan kitab Rig Weda. Tak kurang pahitnya, Adler
–seorang penulis berkebangsaan Jerman- juga pernah mengungkapkan bahwa
kenyataannya perempuan hanya memiliki iman yang lemah (terhadap Tuhan). Bahkan
ia mengatakan bahwa secara alamiah perempuan memang lah jahat.
Dan ternyata sobat,
pandangan-pandangan seperti itu bisa kita telusuri dari kata “famele”
dalam Bahasa Inggris. Secara etimologis, kata female berasal dari Bahasa
Yunani yakni femina (fed dan mina). Fe berarti fides
atau faith “keyakinan”, sedangkan mina berarti minus “kurang”.
Jadi, femina berarti ”orang yang kurang keyakinannya”.
Barulah setelah Islam datang,
nasib kaum perempuan mengalami perubahan. Islam memandang perempuan secara
proporsional sesuai dengan kenyataan gender. Perempuan berhak mendapat harta
waris, dan sudah barang tentu tidak bisa dijadikan tirkah atau warisan. Poligami
hanya dibatasi hanya empat orang Istri. Islam tidak mengenal konsep kesetaraan
gender, tetapi Islam sangat memperhatikan kenyataan gender. Islam sangat
memuliakan perempuan. Bahkan Islam menempatkan posisi perempuan sebagai ratu di
dalam rumah yang harus dijaga dan dilayani. Perempuan tidak memiliki tugas
sedikitpun untuk mencari nafkah, bahkan apabila perempuan berkerja dan
mendapatkan penghasilan dari pekerjaan itu, maka secara mutlak harta tersebut
adalah miliknya tanpa ada ikut campur suaminya. Bahkan persamaan gender yang
dicetuskan selama ini malah menjatuhkan harga diri seorang wanita. Hak seorang
wanita yang dimuliakan, dijaga dan dilayani malah berubah menjadi perempuan
juga harus bekerja banting tulang sama seperti laki-laki. Perempuan tidak boleh
cengeng apalagi manja. Seorang wanita dengan keringat yang bercucuran akibat
lelah bekerja menjadi hal yang lumrah dan biasa.
Padahal sobat, Islam sendiri
tidak pernah menutup kesempatan bagi seorang wanita untuk bekerja di luar
rumahnya. Sekali lagi, Islam meletakkan posisi seorang perempuan secara
seimbang dan proporsional. Perempuan boleh bekerja di luar rumahnya apabila
memang dibutuhkan, dengan izin dari suami atau mahramnya dan terhindar dari ikhthilat
maupun khalwat. Dengan adanya syarat-syarat ini kita sudah menutup 2
celah yang memang harus ditutupi. Yang pertama adalah menutup celah bagi
perempuan untuk melakukan pekerjaan laki-laki. Seperti menjadi kuli, supir, dan
sebagainya. Yang kedua, menutup celah bagi perempuan untuk menjatuhkan
kehormatan dan harga dirinya. Dimana tugas mahramnya untuk mengantar jemput,
memberikan support secara lahir dan batin dst. Hal itu bisa dilihat dan kita
buktikan dengan bekerjanya seorang wanita menjadi seorang dokter kandungan atau
bidan. Hal ini menutup celah bagi laki-laki untuk melakukan pekerjaan tersebut
hingga tersingkap lah aurat yang semestinya harus dijaga.
Jadi kesimpulannya, wanita adalah sosok bidadari
bagi laki-laki. Tidak perlu kesetaraan gender untuk mendapatkan hak dan
apresiasi, Islam telah menempatkan itu sebagai pedoman yang harus ditaati
laki-laki. Jangan jadikan KDRT sebagai alasan, karena Islam telah jadikan rumah
Nabi r sebagai acuan. Jangan pernah memandang budaya barat, toh Islam sendiri
mempunyai kiblat. Jika kita gunakan pemikiran liberal sebagai pendapat,
Al-Qur’an hadist siapa yang melihat. Oleh sebab itu, jadilah muslim yang
berintelektualitas. Mari kita hapus wanita karir on gender equality
menjadi wanita karir on syariat Nabi r. F2d
Tidak ada komentar:
Posting Komentar