Minggu, 11 Juni 2017

WANITA KARIR, GENDER EQUALITY DAN ISLAM

Persamaan gender atau disebut juga dengan Gender Equality beberapa tahun belakangan ini sering sekali menjadi topik hangat dikalangan kita. Bahkan permasalahan ini sempat menimbulkan konflik hingga terjadi demonstrasi dimana-mana. Salah satu alasan utama hal tersebut adalah adanya asumsi yang mengatakan bahwa wanita juga berhak untuk mengapresiasikan dirinya; wanita tidak mesti di rumah dengan segudang urusan rumah tangga. Dikatakan bahwa gender equality berarti perjuangan kaum wanita/perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Hingga istilah wanita karir pun telah menjadi trend dan hal yang mesti dicapai. Lalu sobat, benarkah perempuan selama ini tertindas? Apakah ada campur tangannya antara Islam dan penindasan terhadap wanita? Untuk menjawab itu, kita akan mengupas hal-hal yang berkaitan tentang pandangan masyarakat terhadap wanita. Benarkah gender equality adalah perjuangan atau persamaan; dimana laki-laki tak terima kalau wanitanya hanya berdiam diri di rumahnya.
Sobat, seperti yang kita ketahui bersama bahwa dahulu masyarakat Arab Jahiliyyah memiliki pandangan buruk tentang sosok perempuan. Bagi mereka perempuan tidak memiliki hak apa pun. Mereka tidak mendapatkan hak waris, bahkan boleh diwariskan. Poligami tanpa batas bukanlah hal aneh. Beristri lebih dari empat dipandang biasa saja. Kelahiran anak perempuan dipandang sebagai aib yang sangat memalukan. Oleh karena itu, membunuh anak perempuan menjadi pilihan. Tak kurang sobat, sahabat sekaliber Umar bin al-Khattab sekalipun, khalifah kedua dari Kahlifah ar-Rasyidin, pada masa Jahiliyyah pernah membunuh anak perempuannya. Potret buram masyarakat Jahiliyyah ini direkam dalam ayat Al-Qur’an: “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, “Karena dosa apa ia dibunuh?” (QS. Asy Syams: 8-9)
Namun tahukah sobat, ternyata pandangan seperti itu bukan berasal dari masyarakat Arab saja. Jauh sebelumnya, Aristoteles misalnya menegaskan bahwa perempuan adalah manusia yang belum selesai yang tertahan tingkat perkembangan tingkat bawah. Lain lagi dengan Confucius. Dia mengatakan bahwa ada dua jenis manusia yang sukar diatur; keturunan orang-orang hina dan perempuan. Hati perempuan tak ubahnya sarang srigala, demikian yang dikatakan kitab Rig Weda. Tak kurang pahitnya, Adler –seorang penulis berkebangsaan Jerman- juga pernah mengungkapkan bahwa kenyataannya perempuan hanya memiliki iman yang lemah (terhadap Tuhan). Bahkan ia mengatakan bahwa secara alamiah perempuan memang lah jahat.
Dan ternyata sobat, pandangan-pandangan seperti itu bisa kita telusuri dari kata “famele” dalam Bahasa Inggris. Secara etimologis, kata female berasal dari Bahasa Yunani yakni femina (fed dan mina). Fe berarti fides atau faith “keyakinan”, sedangkan mina berarti minus “kurang”. Jadi, femina berarti ”orang yang kurang keyakinannya”.
Barulah setelah Islam datang, nasib kaum perempuan mengalami perubahan. Islam memandang perempuan secara proporsional sesuai dengan kenyataan gender. Perempuan berhak mendapat harta waris, dan sudah barang tentu tidak bisa dijadikan tirkah atau warisan. Poligami hanya dibatasi hanya empat orang Istri. Islam tidak mengenal konsep kesetaraan gender, tetapi Islam sangat memperhatikan kenyataan gender. Islam sangat memuliakan perempuan. Bahkan Islam menempatkan posisi perempuan sebagai ratu di dalam rumah yang harus dijaga dan dilayani. Perempuan tidak memiliki tugas sedikitpun untuk mencari nafkah, bahkan apabila perempuan berkerja dan mendapatkan penghasilan dari pekerjaan itu, maka secara mutlak harta tersebut adalah miliknya tanpa ada ikut campur suaminya. Bahkan persamaan gender yang dicetuskan selama ini malah menjatuhkan harga diri seorang wanita. Hak seorang wanita yang dimuliakan, dijaga dan dilayani malah berubah menjadi perempuan juga harus bekerja banting tulang sama seperti laki-laki. Perempuan tidak boleh cengeng apalagi manja. Seorang wanita dengan keringat yang bercucuran akibat lelah bekerja menjadi hal yang lumrah dan biasa.
Padahal sobat, Islam sendiri tidak pernah menutup kesempatan bagi seorang wanita untuk bekerja di luar rumahnya. Sekali lagi, Islam meletakkan posisi seorang perempuan secara seimbang dan proporsional. Perempuan boleh bekerja di luar rumahnya apabila memang dibutuhkan, dengan izin dari suami atau mahramnya dan terhindar dari ikhthilat maupun khalwat. Dengan adanya syarat-syarat ini kita sudah menutup 2 celah yang memang harus ditutupi. Yang pertama adalah menutup celah bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan laki-laki. Seperti menjadi kuli, supir, dan sebagainya. Yang kedua, menutup celah bagi perempuan untuk menjatuhkan kehormatan dan harga dirinya. Dimana tugas mahramnya untuk mengantar jemput, memberikan support secara lahir dan batin dst. Hal itu bisa dilihat dan kita buktikan dengan bekerjanya seorang wanita menjadi seorang dokter kandungan atau bidan. Hal ini menutup celah bagi laki-laki untuk melakukan pekerjaan tersebut hingga tersingkap lah aurat yang semestinya harus dijaga.
Jadi kesimpulannya, wanita adalah sosok bidadari bagi laki-laki. Tidak perlu kesetaraan gender untuk mendapatkan hak dan apresiasi, Islam telah menempatkan itu sebagai pedoman yang harus ditaati laki-laki. Jangan jadikan KDRT sebagai alasan, karena Islam telah jadikan rumah Nabi r sebagai acuan. Jangan pernah memandang budaya barat, toh Islam sendiri mempunyai kiblat. Jika kita gunakan pemikiran liberal sebagai pendapat, Al-Qur’an hadist siapa yang melihat. Oleh sebab itu, jadilah muslim yang berintelektualitas. Mari kita hapus wanita karir on gender equality menjadi wanita karir on syariat Nabi r. F2d

Tidak ada komentar:

Posting Komentar