Penulis: Febri Frandikha
Siapa sich diantara kita yang tidak menginginkan kebahagiaan di dunia
dan akhirat? Semua orang pasti menginginkan kebahagiaan. Karena pada dasarnya
kebahagiaan adalah tujuan setiap makhluk yang bernyawa. Namun kesalahan banyak orang
saat ini yang menganggap bahwa kebahagiaan itu terletak pada banyaknya harta.
Mereka menggantungkan kebahagiaan mereka jauh tinggi di atas langit, sedangkan
kedua kaki mereka tetap berpijak di atas bumi. Ada yang meletakkan
kebahagiaannya jauh tinggi di atas bukit, namun ia tidak mau untuk mendaki. Dan
ada pula yang menyimpan kebahagiaanya jauh tinggi di atas kanopi pucuk pohon,
namun ia tidak punya tangga atau kemampuan untuk memanjat.
Padahal bahagia itu sederhana. Bisa kita letakkan di kedua tangan kita.
Kemudian kita sendiri yang menentukan kapan kita bisa bahagia. Mungkinkah kita
bisa bahagia setiap saat, kapanpun dan dimanapun kita berada? Lalu apa sich
bahagia itu?
Ada yang mengatakan bahwa bahagia
akan diraih bilamana kita telah dapatkan apa yang kita mau dan hilang
apa yang kita sedihkan. Argumen ini menimbulkan pertanyaan baru : “Apakah jika
kita telah dapatkan dunia dan seisinya akan hilang apa yang kita sedihkan?”
Maka jawabanya adalah “Tidak”. Akan semakin bertambah apa yang kita sedihkan
dengan semakin bertambahnya apa yang telah kita dapat.” Lalu apakah itu? “Rasa takut akan hilangnya apa yang telah kita
dapatkan”.
Sobat, renungkanlah resep bahagia yang telah dipraktekan dan diajarkan Para
Ahli Hikmah terdahulu. Mereka berkata: “Bahagia adalah bersyukur ketika
mendapatkan kenikmatan, bersabar ketika ditimpa musibah dan beristighfar ketika
berdosa.” Dan begitu mengagumkan sebuah
perkataan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : “Apa yang akan dilakukan musuh-musuhku
kepadaku, sungguh syurga terletak di dalam dadaku”. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada yang bisa kita lakukan sebagai seorang muslim kecuali hidup bahagia;
dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun kondisi kita saat itu.
a.
Syukur
Ketika kita bersyukur bukan berarti kita dilarang untuk mencari nikmat
Allah I yang lain yang tentunya lebih baik dari yang
sebelumnya. Maksud dari syukur adalah kita menerima atas kenikmatan yang telah
Allah I anugrahkan saat itu dengan hati, lisan dan perbuatan.
Kemudian berikhtiar untuk mendapatkan hal yang lebih baik. Hal itu bisa kita
gambarkan dari firman Allah I:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS.
Ibrahim:7)
b.
Sabar
Sabar sangat identik sekali dengan musibah. Ketika seseorang ditimpa
musibah, kita selalu menggunakan kata
sabar dalam menghadapi musibah tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa sabar dalam
menghadapi musibah bisa meraih kebahagiaan atau bahkan kesyukuran yang pada
dasarnya tidak bisa terlihat secara kasat mata. Hal itu bisa kita pahami dengan
hikmah atau maksud dari Allah I memberikan musibah kepada para hambaNya. Musibah
mendatangkan ampunan dari Allah I. Musibah juga mendekatkan hamba tersebut
kepada Allah I. Berapa banyak orang yang jauh dari Allah I namun setelah musibah datang menyapanya, maka
seakan tidak ada penghalang antara hamba tersebut terhadap Allah I.
Dalam menghadapi musibah pada dasarnya manusia terbagi menjadi empat.
Ada yang kufur, sabar, ridho atau bersyukur. Perbedaan antara sabar dan ridho
adalah, seorang yang sabar belum tentu menerima apa yang sedang menimpanya
namun dengan kesungguhan hati ia mencoba untuk belajar ikhlas bahwa tidak ada
musibah yang ditimpakan kepada seorang hamba kecuali hamba tersebut mampu untuk
melampauinya. Ridho berarti hamba tersebut sudah ikhlas lagi menerima. Kemudian
ia berusaha untuk mencapai kepada tahap syukur. Ketika seseorang sudah mencapai
tahap syukur, maka ketika itu setidaknya ia telah mensyukuri dua hal. Ia
bersyukur masih ada nikmat yang tersisa pada dirinya, kemudian Ia bersyukur
karena musibah akan menghapus dosa-dosanya dan menumbuhkan benih-benih pahala
disisi Allah I.
Istighfar memiliki banyak sekali faidah; bahkan sampai kebatas hal-hal
yang tak terpikirkan sebelumnya. Dalam Al-qur’an dan hadist Allah I dan Rasulnya saw. juga menyebutkan hal
tersebut. Diantaranya adalah firman Allah I:
Maka (Nuh) katakan kepada mereka (Kaumnya): 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
-sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan
kepadamu dengan lebat, dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS. Nooh: 10-12)
Istighfar juga
merupakan salah satu sebab datangnya cinta dari Allah I. Bahkan istighfar melampaui segala kenikmatam
lain. Sehingga bilamana Allah I mencintai seorang hamba dengan istighfarnya,
maka hal pertama yang Allah I lakukan kepada hamba tersebut bukan dengan
memberikannya dunia, namun dengan mengampuni dosa-dosanya. Hal ini sebagaimana
yang difirmankan Allah I:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku (Rasulullah saw.), niscaya Allah
akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Ali Imroon: 31)
Ibnu Qoyyim pernah berkata:
“Jikalau kamu mempunyai waktu yang sedikit untuk berdoa namun permohonanmu
sangat banyak, maka dahulukanlah istighfar. Karena dengan istighfar cinta Allah
I turun, bilamana Allah I sudah mencintai hamba tersebut; jangankan
minta sebelum minta saja sudah diberikan”.
Ya. Bahagia
terletak di dalam dada ketika engkau bersimpuh dihadapan Tuhanmu sebagai
seorang hamba, mentaatinya dan menghinakan diri kepadaNya. Karena seorang muslim hakiki ia berkeyakinan
bahwa Allah Maha Adil terhadap hambanya. Allah tidak akan pernah berbuat
dzolim. Allah akan memberi dan mmencabut (nikmat) kecuali untuk kemashlahatan
hambaNya. Karena pada asalnya kebahagiaan di tangan Allah, kita tidak akan
pernah meraihnya kecuali dengan mentaatinya. Sehingga, tidak ada kehidupan yang
baik kecuali dengan melaksanakan seluruh perintah-perintahNya pada waktunya.
Dengan itu, kita mengharapkan perjumpaan denganNya.
Sobat muda, seorang muslim sejati akan menjaga perbuatan dan
pergerakannya lalu menimbangnya sesuai timbangan syariat. Sehingga, tidaklah ia
berbuat kecuali yang diridhoai Tuhannya dan tidaklah ia berkata kecuali yang
disukai Tuhannya. Dan hendaklah ia mengintropeksi dirinya terhadap apa saja
yang sedang menimpanya berupa musibah maupun cobaan dari Allah, dan ia pun
ingat bahwa musibah itu baik baginya. Allah Swt. berfirman :
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata: ‘sesungguhnya kami
milik Allah dan kepadaNyalah kami kembali’. Mereka itulah yang memperoleh
ampunan dan rahmat dari Tuhanmu dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (Q.S al Baqarah: 155-156)
Dan sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. : “Sungguh mengagumkan perkara
seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah kebaikan untuknya dan
tidaklah hal itu didapati kecuali untuk seorang mukmin saja. Apabila ia diberi
kebahagiaan ia bersyukur, maka itu kebaikan baginya. Dan apabila ia ditimpa
musibah/kesulitan ia bersabar dan itupun kebaikan baginya. (H.R Muslim)
Dan hal serupa juga disabdakan Rasulullah Saw. : “Aku takjub terhadap
(perkara) seorang muslim. Apabila ia ditimpa musibah ia intropeksi diri dan
sabar, dan apabila ia diberi kebaikan ia memuji Allah dan bersyukur. Sungguh
seorang muslim akan diganjar (mendapat pahala) pada setiap perbuatan/perkara
sampai suapan yang disodorkan ke dalam mulut”. (H.R Thoyalasi dan Baihaqi). F2d.